Tuesday, June 9, 2015

Terbitkan Tanah Keramat untuk Arek Suroboyo

Jawa Pos

Francis Palmos berjalan cepat menuju ruang tunggu hotel bersejarah di Jalan Tunjungan, Surabaya, Rabu (22/4). Dulu hotel itu bernama Hotel Oranje, tempat perobekan bendera Belanda pada 19 September 1945. Kini hotel tersebut berganti nama menjadi Hotel Majapahit. 

Melihat cara berjalannya yang masih lincah, mungkin banyak yang tidak percaya bahwa pria Australia itu sudah berusia 75 tahun. Frank, begitu dia minta disapa, memang punya kenangan khusus berada di hotel berarsitektur Belanda tersebut. Karena itu, dalam kunjungan bersama istrinya, Alison Palmos, ke Indonesia pekan lalu, dia menyempatkan diri untuk mengunjungi tempat-tempat bersejarah, terutama di Surabaya. 

Sebagai sejarawan, Frank secara khusus memang mengumpulkan catatan-catatan perjuangan arek-arek Suroboyo dalam mempertahankan kemerdekaan. Keberanian rakyat Surabaya melawan Sekutu itulah yang membuat Frank tergerak untuk menerbitkan hasil buruannya tersebut dalam buku berjudul Surabaya 1945; Tanah Keramat.

''Saya sudah ke Indonesia pada 1961 saat masih 21 tahun,'' ujar Frank mengawali cerita.
Entah mengapa, dia mengaku terikat secara emosional dengan Indonesia. Saat itu, dia menerima beasiswa dari Yayasan Sisa Lokantara untuk kuliah di Jurusan Jurnalistik Universitas Indonesia dan Jurusan Indonesian Studies Universitas Padjadjaran Bandung. 

Selama kuliah itulah Frank menyambi menjadi foreign correspondent to South East Asia atau koresponden asing untuk beberapa kantor berita dan surat kabar di Australia. Dia juga memimpin Djakarta Foreign Correspondent Club (DFCC) pada 1965.

Kecintaannya pada dunia tulis-menulis menggerakkan Frank untuk melihat lebih dalam tentang sejarah Indonesia. Latar belakang sebagai seorang jurnalis membuatnya bergaul dengan banyak tokoh penting negeri ini. Sebut saja Presiden Soekarno, D.N. Aidit (tokoh PKI), dan Jenderal A.H. Nasution. 

Frank sempat bertemu langsung dengan tokoh pejuang dari Surabaya, Ruslan Abdulgani. Saat itu, Ruslan sedang berceramah di Universitas Indonesia (UI) mengenai tujuh paham pokok Indonesia. Frank juga menghadiri pidato Soekarno di Lapangan Ikada, Jalan Medan Merdeka, Jakarta.
Banyak kisah unik selama dia bergaul dengan para tokoh tersebut. Misalnya, saat Ruslan menyadari ada seorang mahasiswa asing yang menghadiri ceramahnya. Di antara dua ribu mahasiswa UI kala itu, keberadaan Frank terlihat mencolok. Apalagi dia duduk di barisan terdepan. ''Dia menyapa saya dan mengajak diskusi,'' ungkapnya.

Di antara para pejuang, Frank paling teringat pada Soekarno. ''He's a magician,'' tegasnya. Soekarno mampu ''menyihir'' Frank dan para pemuda lain yang mendengarkan pidatonya. Mereka rela menempuh perjalanan berkilo-kilometer dari berbagai kampung terpencil hanya untuk mendengarkan pidato Sang Proklamator itu menyalakan semangat rakyat untuk membangun negara. 

Begitu pentingnya sejarah pertempuran Surabaya 1945, pria yang meraih Australian Winston Churchill Fellow itu sampai menuliskannya dalam buku Surabaya 1945; Tanah Keramat. Manuskrip buku itu disusun mulai 2007 dan selesai pada 10 November 2011. Dia berharap catatan sejarah tersebut bisa dibaca para pemimpin saat ini.

Sejarah dalam buku Tanah Keramat merupakan penuturan asli para pelaku sejarah. Salah satu yang digambarkan dengan detail adalah peristiwa heroik 10 November 1945. Saat itu, tentara Sekutu membombardir Kota Pahlawan. Di pihak lain, Komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Surabaya Mayjen Sungkono mengumpulkan para prajurit. Dia mengingatkan bahwa belum tentu mereka akan kembali melihat sang surya esok hari. 

''Beliau menyatakan akan mempertahankan kota, meski sendirian,'' ujar Frank. Kisah tentang Mayjen Sungkono dalam buku Frank itu diambil langsung dari 100 notes peninggalan pahlawan pejuang Surabaya tersebut. 

Ketertarikan pria kelahiran 1940 itu untuk menulis tentang Surabaya muncul karena alasan kuat. Menurut dia, kota tersebut menjadi free citizen pertama di Indonesia. Surabaya juga menjadi tempat lahirnya gerakan kemerdekaan pertama, yaitu Sarekat Islam. 

Setelah proklamasi, sejumlah kota seperti Bandung dan Semarang berhasil ditundukkan tentara Inggris. Bahkan, Presiden Soekarno terpaksa meninggalkan Jakarta. Hanya Surabaya yang bertahan. Satu-satunya daerah yang bebas dari penjajah asing. 

Kisah diawali pada 27 Agustus 1945, sepuluh hari setelah proklamasi. Tentara Sekutu mulai menguasai kampung-kampung di Surabaya. Pada 30 Agustus, rakyat Surabaya membunuh 600 tentara Inggris. Itulah kekalahan terbesar pertama yang paling memalukan bagi Inggris.

Presiden Soekarno dijemput Inggris dan diminta untuk menyerukan gencatan senjata kepada seluruh rakyat Indonesia. Tanggal 1–9 September disebut masa menjelang datangnya badai atau awaiting the hurricane. Inggris membawa lebih banyak pasukan lengkap dengan pesawat pengebom. 

Gubernur Jatim Suryo dan Residen Sudirman tidak tinggal diam. Warga Surabaya menanti keputusan dua pemimpin itu. Pertempuran kecil terus terjadi. Puncaknya, komandan tentara Inggris Brigjen Mallaby tewas terbunuh di tangan pejuang. Tentara Inggris sangat marah. Muncul ultimatum bahwa Surabaya akan dibumihanguskan. Gubernur Suryo pada 9 November pukul 22.00 berpidato akan bertahan sampai akhir.

''Gubernur Suryo pidato lewat RRI, 'Lebih baik hancur daripada dijajah lagi','' ujar Frank. Perjuangan arek-arek Suroboyo itu menyebar ke daerah lain di Indonesia. Menjadi lambang perlawanan terhadap penjajah dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. 

Pria yang saat ini tinggal di Perth, Australia, itu juga mengungkapkan kisah lucu lainnya. Yakni, proklamasi yang dikabarkan dalam bahasa Madura. Saat itu, kantor Radio Surabaya (sekarang RRI) dijaga Kampeitai, tentara Jepang. Untungnya, mereka tidak tahu bahasa yang digunakan pembaca berita Radio Surabaya Djakfar Brotoatmojo yang memberi tahu rakyat Surabaya tentang proklamasi kemerdekaan di Jakarta itu. 

Pada 22 Agustus, warga Surabaya mendapat kabar proklamasi tersebut. Mereka lalu turun ke jalan sambil melambaikan puluhan ribu bendera Merah Putih di jalan-jalan. Hari itu kemudian dikenal sebagai ''Hari 50.000 Bendera''.

Frank mengungkapkan, sejarah yang ditulisnya berasal dari sumber otentik. Yakni, 777 catatan harian, buku kenangan, dan wawancara para veteran. Ada pula yang dicarinya langsung dari arsip militer Inggris di London dan Belanda. Termasuk dari memoar Suhario Padmodiwiryo, mahasiswa pejuang yang dikenal sebagai ''Hario Kecik''.

''Pokoknya, 90 persen asli dari orang yang melihat langsung peristiwa itu,'' tegas bapak dua anak itu.
Menurut Frank, banyak kisah unik selama bertemu para tokoh pejuang Indonesia. Apalagi dialah satu-satunya wartawan asing yang mengerti bahasa Indonesia. Karena itu, dia dipercaya Bung Karno untuk menjadi penerjemah bagi para tamu asing serta anggota korps diplomatik. 

Suatu saat, dia diminta menerjemahkan ucapan Bung Karno di hadapan tamu asing. Apes, Frank berbicara terlalu cepat sehingga kalimat yang belum dilontarkan Bung Karno sudah diterjemahkan. Spontan, presiden pertama Indonesia itu menyela, ''Saya belum sampai di situ!''

Dalam bukunya, Frank juga menyebut banyak pahlawan yang tidak dikenal penulis asing. Misalnya, Gubernur Suryo, Kolonel Sungkono, dan tiga serangkai Suryo-Arnowo-Sudirman. Ada pula Isa Edris, pahlawan muda yang memimpin banyak serangan untuk menyita ratusan senjata dan kendaraan Jepang. Termasuk seorang kiai misterius dari Jalan Blauran yang berjalan kaki menuju pusat pertempuran dengan bom berjatuhan di sekitarnya. 

Selain sejarah Indonesia, Frank menulis sejarah Vietnam dalam bukunya Riding The Devils. Judul itu bermakna ''menghilangkan mimpi buruk''. Judul tersebut diambil dari kisah yang membuatnya terus bermimpi buruk. Sebab, Frank adalah satu-satunya jurnalis yang selamat dalam kejadian pembunuhan lima jurnalis asing di Vietnam pada 1968. Dua puluh tahun setelah peristiwa itu, Frank kembali ke Vietnam. Dia bertemu sekretaris perdana menteri dan meminta pembunuhnya ditangkap.
''Pemerintah Vietnam bilang kejadian itu salah paham. Kami memakai mobil dengan lambang CIA,'' ujar suami Alison Palmos itu.

Sepulang dari Indonesia, Frank bertugas di Vietnam. Selanjutnya, dia melanjutkan karir sebagai jurnalis di AFP, Washington Post, dan surat kabar Inggris serta Singapura di Australia. Selama di Indonesia, Frank pernah bekerja sebagai koresponden di Jawa Pos.

Dia menyebut banyak kenangan selama menjadi ''orang'' Surabaya. Setiap dua jam sekali selalu disediakan teh untuk dia. Dulu setiap hari warga bergerombol membaca koran pagi di sebuah papan tulis yang dipajang di kantor lama Jawa Pos, Jalan Kaliasin. Papan itu ditempeli lembaran koran gratis bagi yang mau membaca.

Frank belajar bahasa Indonesia dari dua imam masjid di Bandung dan Tasikmalaya. Dia bahkan ikut puasa dan makan kurma. Dia juga menyukai novel-novel lawas Indonesia seperti Siti Nurbaya dan Layar Terkembang. Frank bahkan mendatangi rumah sang pengarang, Sutan Takdir Alisjahbana. 

''Saya bertamu ke rumahnya di Jakarta. Ternyata, istri beliau orang Australia,'' ucapnya.

Kecintaan Frank pada sejarah Indonesia mendapat banyak apresiasi. Yang terbaru, dia mendapat penghargaan dari Australia-Indonesia Institute untuk bidang media. Kini dia akan mencetak buku Tanah Keramat dalam versi bahasa Indonesia.

Frank is a historian and former journalist who established the forst foreign newspaper bureau in Indonesia in 1964, Frank caused a bit of interest during his recent visit to Surabaya to promote his new book Surabaya 1945: Sacred Territory. This article appeared 1 June in the Jawa Pos.

No comments:

Post a Comment